🌙 Langit Kedua yang Belum Jadi Cerah

Ada harapan yang sempat tumbuh di dalamku.
Kecil, sunyi, tapi cukup membuat pagi-pagi terasa berbeda.
Aku merawatnya, menyiramnya dengan doa,
menenun masa depan dengan hati-hati.
Namun, sebelum sempat kuceritakan pada dunia,
semesta berkata: cukup sampai di sini.

Hari itu, waktu seakan berhenti.
Tubuhku masuk ke ruang terang,
dan keluar dengan bagian yang tidak lagi sama.
Sejak itu, langkahku pelan.
Nafasku pendek.
Tapi pikiranku sibuk merapikan reruntuhan kecil
yang ditinggalkan oleh perasaan kehilangan.

Tiga hari aku berlindung di ruang putih,
mencari sisa-sisa kekuatan untuk bisa pulang,
walau tahu, sebagian dari diriku tidak ikut kembali.

Ada malam-malam di mana aku memandang langit
dan bertanya dalam diam,
“Kenapa awan gelap itu harus singgah ke atapku?”
Dari sekian rumah yang bisa dilintasi hujan,
mengapa langit memilih mengguyurku?

Mungkin, di mata sebagian orang,
aku hanyalah langit yang mendungnya terlalu lama.
Larut dalam awan yang belum sempat menjadi hujan,
terlalu setia pada cahaya kecil
yang belum sempat menyapa pagi.

Tapi bagaimana bisa kusebut ini ringan,
jika yang hilang adalah setangkai harapan
yang tumbuh dari tubuhku sendiri?

Dari kejauhan, mungkin aku tampak seperti biasa.
Langit di wajahku tampak cerah,
senyumku masih terbit setiap pagi.
Tapi tak ada yang tahu,
betapa gerakku kini seperti daun yang tertiup pelan—
lambat, rapuh, penuh pertimbangan.

Untuk duduk, aku masih harus berdamai dengan nyeri.
Untuk tertawa, aku harus menyingkirkan gemuruh dari dalam.
Bahkan untuk melangkah,
aku harus menyusun ulang keberanian
yang belum pulih sepenuhnya.

Dari luar, mungkin terlihat tenang.
Tapi di dalam, ombak masih menyentuh tepi-tepi luka
yang belum sempat kering seluruhnya.

Bahkan ada yang datang membawa luka, bukan pelipur.
Dengan tatapan yang seolah menghangatkan,
tapi ucapannya seperti angin dingin yang menampar dari balik senyuman.
Mereka datang, bukan dengan pelukan atau pengertian,
melainkan dengan benih kenangan yang justru menggores kembali luka yang belum pulih.

Kala aku masih berdiri di antara puing harapan yang belum sempat tumbuh sempurna,
mengapa harus datang badai baru yang mengoyak sisa kekuatanku?

Apakah luka yang kutanggung belum cukup dalam,
hingga harus ditambah beban dari hati yang belum sempat kubaca?

Lonceng dunia kembali berdentang.
Memanggil seolah segalanya telah kembali utuh.
Angin datang membawa agenda yang tak kukenal,
menggoyangkan pintu sebelum sempat kuperkuat dinding hatiku.
Tak semua bertanya,
“Apakah tanahmu cukup kering untuk dipijak kembali?”
Sebagian melintas seperti cahaya pagi,
mengira sinar mentari bisa mengeringkan semuanya,
tanpa tahu…
tanah yang basah tidak selalu siap dipijak kembali.

Namun kini aku mulai mengerti,
bahwa tidak setiap langit gelap datang untuk menghukum.
Ada hujan yang dikirim bukan untuk meruntuhkan,
tapi untuk membasuh luka diam-diam,
dan menyuburkan sesuatu
yang hanya bisa tumbuh di tanah kehilangan:
pahala yang tak berbentuk,
tapi kelak akan bermekaran di tempat yang abadi.

Untuk mereka yang datang membawa kehangatan,
saat duniaku belum sepenuhnya kembali utuh—
terima kasih.
Hadirmu tidak menghapus luka,
tapi mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri.
🙂

—-

🌷Untukmu,
yang sempat tinggal di langit kedua dalam hidupku.
Yang belum sempat membuka mata,
belum sempat kutimang,
belum sempat kuceritakan tentang dunia,
tapi telah lebih dulu kembali ke pelukan Tuhan.

Sejak kau hadir,
langit di dalamku berubah.
Lebih luas, lebih lapang… tapi juga lebih lengang.
Dan meski hanya sekejap,
kau datang membawa sesuatu yang tak bisa diajarkan oleh siapa pun:
tentang harapan yang tumbuh tanpa suara,
dan kehilangan yang jatuh tanpa tanda.

Kau datang seperti angin dini hari—
sunyi, lembut, nyaris tak terasa.
Namun kini,
setiap kali aku menutup mata,
aku tahu: jejakmu ada di sana.
Di ruang terdalam yang tak bisa dijamah siapa pun,
kecuali aku.

Kita belum sempat saling sapa.
Belum sempat kugenggam jemarimu.
Tapi kau sudah menjadi bagian dari doaku,
dari kisahku,
dari langitku yang kedua—
yang mungkin tak jadi cerah,
tapi tetap kutatap dengan penuh cinta.

Jika kelak kau menatapku dari tempat paling tinggi,
ketahuilah…
meski ragamu tak pernah kutimang,
namamu kutanam di hatiku.
Selamanya.

🕊 Ahmad Ali Hidayat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *